Sabtu, 28 Januari 2012

" Bagaimana, Anak Cucu Kita Nanti"


Pembodohan dan Pemalsuan Sejarah di Lokasi Proklamasi
"Di mana letaknya tempat yang disebut ’Gedung Proklamasi’?" Pertanyaan yang sederhana mengenai tempat kelahiran negara Indonesia, tetapi jawaban yang muncul banyak mengarah kepada "tidak tahu". Sesungguhnya, jawaban "tidak tahu" jauh lebih baik daripada percaya kepada informasi yang sekarang terdapat di lokasi ini. Sangat menyedihkan, apa yang dimasyarakatkan oleh Pemprov DKI Jakarta mengenai "Gedung Proklamasi" kenyataannya mengandung pembodohan dan manipulasi data sejarah. Mengapa demikian?
Kediaman Bung Karno inilah yang dulu disebut "Gedung Proklamasi", karena di tempat ini proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta hari Jumat legi (manis) tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi. Proklamasi kemerdekaan itu bertepatan dengan peringatan turunnya Al Quran (Nuzulul Quran, sehingga khotbah para khatib shalat Jumat pun menginformasikan peristiwa penting tentang kelahiran bangsa dan negara Indonesia).
Sayang seribu kali sayang, rumah historis ini musnah sudah sejak tahun 1960 (43 tahun lalu). Kecuali lahan, tidak sedikit pun bangunan tersisa. Tidak ada lagi peninggalan sejarah kemerdekaan yang dapat dijadikan kenangan bagi generasi penerus. Tidak ada informasi yang natural, normatif, orisinal, sesuai hakikat peristiwa yang terjadi di kediaman Bung Karno ini.
Ceritanya, tahun 1960 Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.
Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".
Sekitar 50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai dimulainya pelaksanaan "Pembangunan Nasional Semesta Berencana". Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.

Menjawab kebohongan

Melihat data di atas, sungguh aneh dan ajaib ada papan petunjuk di Jalan Proklamasi bahwa belok kiri menuju "Gedung Proklamasi". Tidak yakin dengan keterangan ini karena papan petunjuk ini dibuat oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta? Kerja pemerintah daerah ini pastilah melibatkan dinas atau instansi terkait, tidak asal-asalan.
Ada data autentik yang menjawab hal ini. Lihat halaman 170 buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 (cetakan keenam 1985) berjudul "Peresmian Dimulainya Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana". Tulisan yang tercantum, antara lain, "Presiden Soekarno meresmikan dimulainya Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969 dalam suatu upacara pencangkulan tanah di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta".
Kata pengantar buku disampaikan Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono SH selaku Ketua Panitia Nasional Penyelenggara Peringatan RI XXX. Buku yang hak ciptanya dimiliki Sekretariat Negara dan dicetak pertama kali tahun 1977 itu memuat pula sambutan Presiden Soeharto. Jadi, buku bersampul reproduksi lukisan Dullah milik presiden waktu itu, Soeharto, adalah dokumen resmi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia.
Data akurat tentang "Gedung Pola" ditulis sebagai berikut: Di halaman belakang Gedung Proklamasi yang kemudian dirobohkan dibangun Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta (Gedung Pola). Pada masa ini dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana. Di bidang industri, titik berat diletakkan kepada pembangunan industri berat dan industri kimia dasar. Antara lain mulai dibangun pabrik super- fospat di Cilacap (Jawa Tengah), pabrik peleburan baja di Cilegon (Jawa Barat), serta pabrik semen, pabrik gula, dan pabrik kertas di berbagai tempat di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.
Apakah informasi ini diperhatikan Pemprov DKI Jakarta? Kalau "ya", cerita di Jalan Proklamasi 56 tentulah tidak seperti sekarang. Amburadul, penuh kebohongan, dan pemalsuan sejarah yang merugikan generasi penerus bangsa dalam mengisi kemerdekaan.
Perhatikan halaman utara "Gedung Pola" (menghadap Kantor Telkom), ada baliho bertuliskan huruf-huruf besar: GEDUNG PERINTIS KEMERDEKAAN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), baliho berarti publikasi yang besar-besaran agar menarik masyarakat. Di bagian belakang gedung juga ada tulisan serupa yang ditempel ke tembok menghadap lokasi proklamasi. Beberapa hurufnya rusak dan menggelantung, menandakan tidak terkontrol.
Istilah "Gedung Perintis Kemerdekaan" jelas salah, salah besar dalam arti sejarah, bahasa, dan pengertian politik. Dari segi sejarah, gedung ini dibangun hampir 16 tahun kemudian setelah kemerdekaan (17 Agustus 1945-1 Januari 1961) dan diberi nama "Gedung Pola". Dari segi bahasa, menurut KBBI, kata perintis berarti usaha pertama atau permulaan; pembuka jalan. Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta tahun 1963 adalah pameran pertama tentang pembangunan setelah Indonesia merdeka. Kalau mau jujur, "Gedung Pola" disebut "Gedung Perintis Pembangunan" tentulah pas.
Kalau mau bicara tentang gedung perintis kemerdekaan, yang paling pas adalah bekas rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No 1 (waktu itu Miyako Dori, Jakarta Pusat). Gedung ini sekarang mendapat predikat "Museum Perumusan Naskah Proklamasi" (Formulation of Proclamation Text Museum). Seharusnya ada pula penyebutan "Gedung Perintis Kemerdekaan".
Di tempat ini anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokoritu Zyunbi Tyoosakai) mengadakan sidang pada 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945 (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), diterbitkan Sekretariat Negara, cetakan kelima edisi III, 1995, semasa Menteri/Sekretaris Negara Moerdiono). Badan ini diketuai Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, dibantu Itibangase Yosio dan RP Soeroso (keduanya wakil ketua), beranggota 60 orang dan anggota tambahan enam orang.
Jadi, konsesi dan filosofi apa yang ingin dimasyarakatkan dengan tulisan "Gedung Perintis Kemerdekaan" atas "Gedung Pola"? Menyedihkan dan memprihatinkan. Pada zaman sekarang sangat susah menemukan saksi yang bisa menceritakan secara lengkap tentang hal-ihwal gedung ini. Akan tetapi, berapa juta warga dan mahasiswa yang terkecoh dan meyakini benarnya tulisan tersebut karena dibuat oleh pemerintah.
Padahal, kualitas informasi tersebut bobrok adanya. Informasi yang tidak ada nilai, hanya merusak pikiran sehat, dan pikiran jernih.
Tanaman pohon hias untuk pembatas halaman ternyata hanya menjadikan tempat ideal untuk pacaran dan orang tidur. Setidaknya itu yang Kompas lihat ketika beberapa kali berkunjung pada siang hari.

"Tugu Proklamasi"

Di dekat pintu keluar ada papan berwarna coklat bertuliskan "Monumen Proklamasi Kemerdekaan RI". Tulisan lain, "Jakarta Metropolitan City, Tourism Development Board" dan angka 59, mungkin nomor papan ini. Penyebutan nama monumen proklamasi kemerdekaan itu tidak jelas untuk bangunan mana karena "Tugu Petir" yang menjulang tinggi terletak sekitar 50 meter di belakangnya, terhalang halaman yang ditanami pohon kelapa dan tumbuhan lain. Adanya rumah berukuran sekitar 8 x 6 meter yang berjarak lima meter di belakang papan memberikan kesan "rumah itulah monumen proklamasi". Padahal, rumah tersebut untuk, katakanlah, kantor.
Di sisi lain dari pintu keluar ini ada papan petunjuk yang lebih besar bertuliskan Monumen Pahlawan Proklamator Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta, dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta. Sekitar 100 meter di belakangnya di sebelah selatan memang ada monumen Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi, diresmikan Presiden Soeharto tanggal 17 Agustus 1980. Aneh juga, antara nama dan monumen letaknya berjauhan.
Di antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya "Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia" yang langsung terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 di masa Sekutu berkuasa. Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, "Atas Oesaha Wanita Djakarta". Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.
Kisah tugu ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta, hasil wawancara dengan Titiek WS. Buku yang diterbitkan Yayasan 19 Desember 1948 (cetakan pertama 1998) itu berisi perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda serta 52 tulisan saksi dan pelaku sejarah perang kemerdekaan Indonesia.
Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama kawan-kawan lain.
Pada menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).
Pucuk dicinta ulam tiba. Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian, memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Peristiwa mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang mereka sebut "Tugu Linggarjati" harus dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi pada 10 November 1946, tiga bulan setelah tugu peringatan diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.
Bersama sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu. Atas saran para wanita yang hadir, lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.
Tahun 1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif, terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan membeli marmer-marmer itu dengan harga tinggi.
Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden Drs Moh Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956). Ini menunjukkan tingginya nilai perjuangan tugu peringatan yang dibangun oleh para wanita itu.
Kisah menarik ini seharusnya bisa dibaca di lokasi ini, menjadi acuan bagi oknum yang suka mengotori bangunan untuk sadar. Ada oknum organisasi mahasiswa yang menulis "2003 FKPPRI DKI" dengan cat kuning di marmer naskah proklamasi dan peta Indonesia. Ada pula tulisan grup pemuda berisi nama-nama anggotanya. Tulisan dari mereka yang tangannya gatal dan tidak peduli dengan nilai sejarah.

60 tahun Indonesia

Di lokasi proklamasi sekarang ini tidak tergambar sejarah kepahlawanan bangsa merebut kemerdekaan. Hati menangis, rasa sedih dan prihatin yang muncul. Lantai di pelataran depan Patung Bung Karno-Bung Hatta banyak yang dicungkil orang. Ada yang sudah diperbaiki dengan disemen, tetapi masih banyak yang terpotong-potong sisa tangan jahat.
Republik Indonesia tahun 2005 berusia 60 tahun. Selama ini peringatan hari kemerdekaan dilaksanakan di halaman depan Istana Merdeka, tempat bekas kantor dan kediaman Gubernur Jenderal Belanda. Padahal, jati diri Indonesia berada di lokasi proklamasi di Jalan Proklamasi 56. Merebut kemerdekaan dengan cara dramatik berlangsung di tempat ini, ketika bala tentara Jepang di Jawa masih berkuasa walaupun Tokyo sudah takluk kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.
Lokasi proklamasi kini disia-siakan. "Kembalikan jati diri Indonesia!" Itulah yang harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan. Lokasi ini, kalau diratakan dan didesain ulang, hampir seluas halaman Istana Merdeka.
Jangan dilupakan pula, dibangun gedung perpustakaan untuk buku-buku kisah perjuangan bangsa dan informasi lain tentang kepahlawanan yang murni. Masih cukup waktu untuk berbuat ke arah itu. Martabat bangsa dengan segala dimensinya akan muncul dan lokasi ini menjadi obyek pariwisata yang menjanjikan secara global.
Alangkah membanggakan dan menggugah kepahlawanan dalam berjuang di alam merdeka bila peringatan HUT Ke-60 Indonesia dirayakan di tempat lahirnya jati diri Indonesia.
Di tempat kediamannya ini, Presiden Soekarno pernah menulis, "Sedjak 1 September 1945 kita meneriakan pekik ’Merdeka’. Dengoengkan teroes pekik itu, sebagai dengoengan Djiwa yang merdeka! Djiwa merdeka, jang berdjoang dan bekerdja! BERDJOANG dan BEKERDJA. Buktikan itu! (30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949).
Wallahu 'alam bis-sawab. *


Oleh: M Sjafe’i Hassanbasari

ROBERT CAPA

RobertCapa by GerdaTaro




Robert Capa

Robert Capa (lahir Endre Ernő Friedmann;22 Oktober 1913 - 25 Mei 1954) adalah seorang fotografer tempur Hungaria dan wartawan foto yang meliput lima perang berbeda: Perang Saudara Spanyol, Perang Sino-Jepang Kedua, Perang Dunia II di Eropa, Perang Arab-Israel 1948, dan Perang Indochina Pertama. Dia mendokumentasikan jalannya Perang Dunia II di London, Afrika Utara, Italia, Pertempuran Normandia di Pantai Omaha dan pembebasan Paris. Tindakan-Nya foto, seperti yang diambil selama invasi Normandia 1944, menggambarkan kekerasan perang dengan dampak unik. Pada tahun 1947, Capa mendirikan Magnum Photos, antara lain, fotografer Perancis Henri Cartier-Bresson. Organisasi ini lembaga koperasi pertama bagi fotografer lepas di seluruh dunia.

Karir

Lahir Friedmann Endre untuk Dezső dan Friedmann Julia pada tanggal 22 Oktober 1913 di Budapest, Hungaria. Memutuskan bahwa ada masa sedikit di bawah rezim di Hungaria, ia meninggalkan rumah pada 18.
Capa awalnya ingin menjadi penulis, namun, ia mendapatkan pekerjaan dalam fotografi di Berlin dan tumbuh untuk mencintai seni. Pada tahun 1933, ia pindah dari Jerman ke Prancis karena bangkitnya Nazisme, tetapi sulit untuk mencari pekerjaan di sana sebagai wartawan lepas. Ia mengadopsi nama "Robert Capa" sekitar waktu ini - sebenarnya "capa" ("hiu") adalah julukannya di sekolah dan juga ia merasa bahwa itu akan dikenali dan Amerika-terdengar karena mirip dengan sutradara bahwa film Frank Capra.
Capa foto pertama dipublikasikan adalah 1932 Leon Trotsky berpidato di Kopenhagen pada "Makna Revolusi Rusia" di. 

Perang Saudara Spanyol dan Ketahanan Cina ke Jepang

Dari tahun 1936 sampai 1939, ia di Spanyol, memotret kengerian Perang Saudara Spanyol, bersama dengan Gerda Taro, pendamping dan mitra profesional fotografi, dan David Seymour.Pada tahun 1938, ia pergi ke kota Cina Hankow, sekarang disebut Wuhan, untuk mendokumentasikan resistensi terhadap invasi Jepang.
Pada tahun 1936, ia menjadi dikenal di seluruh dunia untuk foto (dikenal sebagai foto "Prajurit Jatuh") panjang palsu diduga telah diambil di Cerro Muriano di Front Cordoba dari Partai Buruh Unifikasi Marxis (POUM) milisi yang baru saja ditembak dan dalam tindakan jatuh ke kematiannya. Telah ada kontroversi panjang tentang keaslian foto ini. Seorang sejarawan Spanyol mengidentifikasi prajurit mati sebagai Federico Borrell García, dari Alcoi (Alicante). Identifikasi ini telah diperdebatkan. Pada tahun 2003, surat kabar Spanyol El Periodico mengklaim foto itu diambil di dekat kota Espejo, 10 km dari Cerro Muriano, dan bahwa foto itu dipentaskan. Pada tahun 2009, seorang profesor Spanyol menerbitkan sebuah buku berjudul Shadows Fotografi, di mana ia menunjukkan bahwa foto tidak bisa diambil di mana, kapan, atau bagaimana Capa dan pendukungnya menuduh.
Banyak dari foto Capa tentang Perang Saudara Spanyol itu, selama beberapa dekade, dianggap hilang, tetapi muncul di Mexico City pada akhir 1990-an. Sementara lari Eropa pada tahun 1939, Capa telah kehilangan koleksi, yang dari waktu ke waktu datang untuk menjadi dijuluki yang "koper Meksiko". Kepemilikan koleksi dipindahkan ke Estate Capa, dan pada Desember 2007 telah dipindahkan ke Pusat Fotografi Internasional, sebuah museum didirikan oleh saudara yang lebih muda Cornell Capa di Manhattan. 

World War II

D-Day landings, 6-6-1944
D-Day landings, 6-6-1944

Pada awal Perang Dunia II, Capa berada di New York City. Dia telah pindah ke sana dari Paris untuk mencari pekerjaan baru dan untuk menghindari penganiayaan Nazi. Perang membawa Capa ke berbagai bagian dari Teater Eropa di tugas fotografi. Dia pertama kali difoto untuk Collier's Weekly, sebelum beralih ke Kehidupan setelah ia dipecat oleh mantan. Dia adalah "musuh asing" hanya fotografer untuk Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1943, Robert Capa berada di Naples dengan reporter Life Will Lang Jr dan difoto pemboman Napoli kantor pos. 
Karyanya yang paling terkenal terjadi pada tanggal 6 Juni 1944 (D-Day) ketika ia berenang ke pantai dengan gelombang serangan kedua pada Pantai Omaha. Dia dipersenjatai dengan dua kamera Contax II dipasang dengan lensa 50 mm dan beberapa rol film cadangan. Capa mengambil 106 gambar dalam beberapa jam pertama invasi. Namun, seorang anggota staf di Hidup di London membuat kesalahan dalam kamar gelap, ia menetapkan pengering terlalu tinggi dan mencair emulsi dalam negatif dalam tiga gulungan lengkap dan lebih dari setengah dari gulungan keempat. Hanya delapan bingkai total ditemukan. Capa tidak pernah mengatakan sebuah kata untuk kepala biro London tentang hilangnya tiga setengah gulungan film pendaratan nya D-Day.
Meskipun asisten lab lima belas tahun bernama Dennis Bank bertanggung jawab atas kecelakaan, account lain, kini sebagian besar diterima sebagai benar tetapi yang diperoleh mata uang luas, menyalahkan Larry Burrows, yang bekerja di laboratorium bukan sebagai seorang teknisi tetapi sebagai teh " -anak ".majalah Life dicetak beberapa frame pada tahun 1944 edisi 19 Juni dengan keterangan yang menggambarkan rekaman sebagai" sedikit keluar dari "fokus, menjelaskan bahwa tangan Capa itu gemetar dalam kegembiraan saat itu (sesuatu yang ia ditolak). Capa menggunakan ungkapan ini sebagai judul akun otobiografi tentang perang, Sedikit Out of Focus.
Pada tahun 1947 Capa pergi ke Uni Soviet dengan temannya, penulis John Steinbeck. Dia mengambil foto di Moskow, Kiev, Tbilisi, Batumi dan di antara reruntuhan Stalingrad. Para reportase lucu Steinbeck, A Journal Rusia, digambarkan dengan foto Capa's. Ia pertama kali diterbitkan pada tahun 1948.
Pada tahun 1947, Capa mendirikan usaha koperasi Magnum Photos dengan Henri Cartier-Bresson, William Vandivert, David Seymour, dan George Rodger. Pada 1951, ia menjadi presiden.
Capa tur Israel setelah didirikan, dan disertakan foto-foto berlimpah untuk sebuah buku di negara baru yang ditulis oleh Irwin Shaw, Laporan Israel.

Perang Indochina Pertama dan kematian

Pada awal tahun 1950, Capa pergi ke Jepang untuk sebuah pameran yang berkaitan dengan Magnum Photos. Sementara di sana, majalah Life memintanya untuk pergi pada tugas ke Asia Tenggara, di mana Perancis telah berjuang selama delapan tahun di Perang Indochina Pertama. Meskipun dia telah bersumpah untuk tidak foto perang lagi beberapa tahun sebelumnya, Capa diterima dan disertai sebuah resimen Perancis dengan dua wartawan Time-Life lainnya, John Mecklin dan Jim Lucas. Pada tanggal 25 Mei 1954 di 14:55, resimen itu melewati daerah berbahaya di bawah api ketika Capa memutuskan untuk meninggalkan Jeep dan pergi jalan untuk memajukan foto. Sekitar lima menit kemudian, Mecklin dan Lucas mendengar ledakan; Capa telah menginjak sebuah ranjau darat. Ketika mereka tiba di tempat kejadian, dia masih hidup, tetapi kaki kirinya telah hancur berkeping-keping, dan dia memiliki luka serius di dadanya. Mecklin menyerukan Capa medis dan dibawa ke rumah sakit lapangan kecil di mana ia dinyatakan meninggal pada saat kedatangan. Dia meninggal dengan kamera di tangannya.

Kehidupan Pribadi

Pada tahun 1934 "André Friedman", karena ia menyebut dirinya pada waktu itu, bertemu Gerda Pohorylle, seorang pengungsi Yahudi Jerman. Pasangan ini tinggal di Paris di mana André mengajar fotografi Gerda. Bersama-sama mereka dibikin nama dan citra "Robert Capa" sebagai fotografer Amerika yang terkenal. Gerda mengambil nama Gerda Taro, menjadi sukses dalam haknya sendiri. Dia bepergian dengan Capa ke Spanyol pada tahun 1936 dengan tujuan untuk mendokumentasikan Perang Saudara Spanyol. Pada Juli 1937 Capa pergi dalam perjalanan bisnis singkat ke Paris, sementara Gerda tetap di Madrid. Dia dibunuh dekat Brunete selama pertempuran. Capa, yang dilaporkan bertunangan dengan dia, sangat terkejut dan tidak pernah menikah.
Pada Februari 1943 Capa Elaine bertemu Justin, istri muda yang cantik dari aktor John Justin. Mereka langsung jatuh cinta dan hubungan berlangsung sampai akhir perang, meskipun Capa menghabiskan sebagian besar waktunya di garis depan. Capa penuh kasih disebut Elaine berambut merah "Pinky," dan asmara mereka menjadi topik memoar perangnya, Sedikit Out of Focus. Pada tahun 1945, Elaine putus dengan Capa dan menikah dengan temannya, Chuck Romine.
Beberapa bulan kemudian Capa menjadi kekasih aktris Ingrid Bergman, yang sedang dalam perjalanan di Eropa pada saat itu tentara Amerika menghibur. Pada bulan Desember 1945, Capa mengikutinya ke Hollywood, di mana ia bekerja untuk American International Pictures untuk waktu yang singkat. Bergman mencoba membujuk dia untuk menikahinya, tapi Capa tidak ingin tinggal di Hollywood. Hubungan ini berakhir pada musim panas 1946 ketika Capa bepergian ke Turki.

Warisan

Capa saudara muda, Cornell Capa, juga fotografer, bekerja untuk melestarikan dan mempromosikan warisan Robert serta mengembangkan identitasnya sendiri dan gaya.
Dalam rangka melestarikan warisan fotografi dan fotografer lainnya Capa, Cornell mendirikan Dana Internasional untuk Peduli Fotografi pada tahun 1966. Untuk memberikan koleksi ini rumah permanen ia mendirikan Pusat Fotografi Internasional di New York City pada tahun 1974.
Overseas Press Club menciptakan penghargaan di menghormatinya, Robert Capa Gold Medal. Hal ini diberikan setiap tahun kepada fotografer yang memberikan "pelaporan terbaik fotografi diterbitkan dari luar negeri, membutuhkan keberanian luar biasa dan perusahaan".
Capa dikenal untuk mendefinisikan kembali foto jurnalistik perang. Karyanya harfiah berasal dari parit yang bertentangan dengan perspektif yang lebih panjang senjata yang preseden sebelumnya. Ia terkenal karena berkata, "Jika gambar Anda tidak cukup baik, Anda tidak cukup dekat."
Capa dikreditkan dengan coining Generasi X. istilah Ia digunakan sebagai judul untuk esai-foto tentang laki-laki dan perempuan muda tumbuh segera setelah Perang Dunia Kedua. Proyek ini pertama kali muncul di Picture Post (Inggris) dan Holiday (AS) pada tahun 1953. Menjelaskan niatnya, Capa mengatakan, "Kami bernama generasi ini tidak diketahui, Generasi X, dan bahkan dalam antusiasme pertama kami kami menyadari bahwa kami memiliki sesuatu yang jauh lebih besar daripada bakat kita dan kantong bisa mengatasi."
Pada tahun 1995, ribuan negatif untuk foto-foto yang Capa mengambil selama Perang Saudara Spanyol ditemukan dalam tiga koper diwariskan kepada pembuat film Kota Meksiko dari bibinya. Pada tahun 1939, setelah melarikan diri Capa Eropa Amerika selama Perang Dunia II, negatif ini tertinggal dalam kamar gelap Paris dan mereka dianggap hilang selama invasi Nazi di Paris. Tidak diketahui bagaimana negatif pergi ke Meksiko, tapi rupanya Capa meminta manajer kamar gelap, seorang fotografer Hungaria Imre Weisz, untuk menyelamatkan negatif selama tahun 1939 dan 1940. Jerald R Green, seorang profesor di Queens College, diberitahu oleh surat dari pembuat-film Meksiko tentang penemuan ini. Pada bulan Januari 2008, negatif dipindahkan ke real Capa, tapi pembuat film-Meksiko telah meminta untuk tetap anonim.
Pusat Internasional Fotografi menyelenggarakan pameran keliling berjudul This Is War: Robert Capa di Tempat Kerja, yang reexamines inovasi Capa sebagai jurnalis foto di tahun 1930-an dan 1940-an dengan vintage cetakan, lembaran kontak, lembar keterangan, pengamatan tulisan tangan, surat pribadi dan layout majalah asli dari Perang Saudara Spanyol, Perang Sino-Jepang Kedua dan Perang Dunia II. Pameran telah dipajang di Galeri Seni Barbican dan Pusat Internasional Fotografi Milan dan dipajang di Museu Nacional d'Art de Catalunya sampai dengan 27 September 2009. Kemudian pindah ke Nederlands Fotomuseum 10 Oktober 2009 sampai 10 Januari 2010.

Politik

Sebagai seorang remaja, Capa tertarik pada Munkakör (Pekerjaan Circle), sekelompok seniman avant-garde sosialis dan, fotografer, dan intelektual berpusat di sekitar Budapest dan ia adalah seorang peserta biasa dalam demonstrasi melawan rezim represif Miklós Horthy. Pada tahun 1931, tepat sebelum foto pertama akan diterbitkan, Capa ditangkap oleh polisi rahasia Hongaria, dipukuli, dan dipenjara selama aktivitas radikal politiknya, istri seorang pejabat polisi-yang terjadi untuk mengetahui keluarganya-won rilis Capa di kondisi yang ia meninggalkan Hungaria segera. 
Review Boston digambarkan Capa sebagai "kiri, dan demokrat-ia penuh semangat pro-Loyalis dan penuh semangat anti-fasis ..." Selama Perang Saudara Spanyol Capa bepergian dengan dan memotret Partai Buruh Unifikasi Marxis (POUM), di mana George Orwell dilayani, yang mengakibatkan fotonya paling terkenal.
Majalah Inggris Gambar Post berlari foto-foto dari Spanyol disertai dengan potret Capa, di profil, dengan penjelasan sederhana:  "Dia adalah seorang demokrat bergairah, dan ia hidup untuk mengambil foto."

The Falling Soldier



Capa,_Death_of_a_Loyalist_Soldier


Prajurit Jatuh terkenal adalah foto yang diambil oleh Robert Capa, dipahami telah diambil pada tanggal 5 September 1936 dan lama berpikir untuk menggambarkan kematian seorang Republikan, khususnya Federasi Iberia dari Libertarian Pemuda (FIJL) prajurit selama Perang Saudara Spanyol, yang kemudian diidentifikasi sebagai anarkis Federico Borrell García. Judul lengkap dari foto itu adalah Loyalis milisi di Moment of Death, Cerro Muriano, 5 September 1936.
Ada tuduhan falangist dari awal bahwa gambar itu sengaja, tetapi di luar Spanyol foto itu diyakini gambar dokumenter benar sampai tahun 1970-an.
Penelitian terbaru memang menunjukkan bahwa gambar itu sengaja. Itu jelas tidak diambil di lokasi pertempuran Cerro Muriano, tetapi pada Espejo, sekitar tiga puluh mil jauhnya. Keraguan juga telah dilemparkan pada identifikasi subjek foto's:. Borrell Federico García diketahui telah tewas di Cerro Muriano , ditembak ketika berlindung di balik pohon, dan telah terungkap bahwa ia tidak sangat mirip dengan subjek foto.

Sejarah

Prajurit Jatuh dianggap menangkap saat kematian seorang tentara Republik. Dia ambruk ke belakang telah ditembak. Ia mengenakan pakaian sipil tampak tetapi mengenakan sabuk kartrid kulit, dan senapan nya menyelinap keluar dari tangan kanannya. Foto yang diambil pada hari sebelumnya muncul untuk menunjukkan milisi bersama rekan-rekannya di Alcoiana Columna melambaikan senjata dan ucapan fotografer (s).
foto Capa tentang milisi Loyalis di Cerro Muriano, termasuk dua gambar anggota milisi menembak fatal, pertama kali diterbitkan dalam, 23 September 1936 isu VU majalah Perancis. Gambar ditembak di lokasi yang sama juga diterbitkan, hari kemudian, di majalah Salam. Di Amerika Serikat The Falling Soldier telah direproduksi pertama dalam Kehidupan dan kemudian kali sangat banyak. Hal ini telah menjadi simbol dari Perang Saudara Spanyol dan merupakan salah satu foto-foto perang paling terkenal sepanjang masa.

Sementara beberapa penulis, seperti penulis biografi Capa Richard Whelan, selalu membela keaslian foto's, sejak tahun 1975 keraguan telah diajukan. 2007 dokumenter La sombra klaim gunung es del bahwa gambar itu sengaja dan yang Borrell tidak individu dalam gambar.
Pada tahun 2009 bukunya Sombras de la Fotografía ("Bayangan Fotografi") José Manuel Susperregui dari University of País Vasco menyimpulkan bahwa foto belum diambil di Cerro Muriano, padahal sebenarnya telah diambil di lokasi lain sekitar 35 mil (56 km ) jauhnya. Susperregui menentukan lokasi sebenarnya dari foto dengan meneliti latar belakang foto lain dari urutan yang sama dengan "Falling Soldier", di mana berbagai pegunungan dapat dilihat. Dia kemudian e-mail foto ke pustakawan dan sejarawan di kota-kota dekat Córdoba, menanyakan apakah mereka mengakui lanskap, dan mendapat respon positif dari masyarakat disebut Espejo.
Sejak Espejo sudah agak jauh dari garis pertempuran ketika Capa ada di sana, Susperregui mengatakan bahwa ini berarti bahwa "Falling Soldier" foto dipentaskan, seperti juga semua yang lain dalam seri yang sama seharusnya diambil di bagian depan.
surat kabar Spanyol, termasuk surat kabar Barcelona El Periódico de Catalunya dikirim wartawan untuk Espejo yang kembali dengan foto-foto yang menunjukkan pertandingan hampir sempurna antara langit hari ini dan latar belakang foto-foto Capa's.
Willis E. tanduk rusa, direktur Pusat Internasional Fotografi, menegaskan kebenaran foto itu, menunjukkan bahwa milisi itu telah dibunuh oleh tembakan penembak jitu dari jarak jauh saat berpose untuk foto bertahap. Susperregui diberhentikan saran, menunjukkan bahwa garis depan terlalu luas dipisahkan dan bahwa tidak ada bukti dokumenter tentang kerja dengan penembak jitu di bagian depan Córdoba.
Susperregui menunjukkan kontradiksi lain dalam rekening diterima foto dalam bukunya, mencatat bahwa Capa disebutkan dalam wawancara bahwa milisi itu telah dibunuh oleh ledakan api senapan mesin daripada peluru penembak jitu, dan juga bahwa ia memberikan account yang sangat berbeda dari sudut pandang dan teknik yang digunakan untuk mendapatkan foto.
Di satu sisi, temuan ini juga membebaskan Capa. Sebelum penemuan terbaru pada topik, beberapa penulis bahkan menyatakan bahwa Capa mungkin telah bertanggung jawab atas kematian milisi sebagai milisi itu tampaknya berpose untuk Capa ketika ia ditembak -. Mungkin oleh penembak jitu
Richard Whelan dalam "This Is Perang Robert Capa at Work!" Menyatakan:
Gambar, yang dikenal sebagai Kematian milisi Loyalis atau hanya The Falling Soldier, telah menjadi hampir secara universal diakui sebagai salah satu perang terbesar yang pernah dibuat foto. Foto juga telah menghasilkan banyak kontroversi. Dalam beberapa tahun terakhir, telah diduga bahwa adegan Capa dipentaskan, tuduhan yang telah memaksa saya untuk melakukan sejumlah penelitian yang fantastis selama dua dekade. Saya telah bergumul dengan dilema tentang bagaimana untuk menangani dengan foto yang satu percaya akan asli tetapi seseorang tidak dapat mengetahui dengan kepastian yang mutlak untuk menjadi dokumentasi jujur. Ini bukan foto seorang pria berpura-pura telah ditembak, atau gambar yang dibuat selama apa yang kita biasanya akan mempertimbangkan panas pertempuran.
-Richard Whelan dalam "This Is Perang Robert Capa! Di tempat kerja".
bahan Selanjutnya, film-film lama berisi gambar oleh Capa, Gerda Taro dan David Seymour, datang ke cahaya di awal 2009, ketika sebuah kehilangan 'koper', berisi ratusan negatif Capa itu digali, yang telah dibawa ke Meksiko pada akhir perang. Film ini sekarang dengan arsip Capa di Institute of Contemporary Fotografi di New York. The 'koper' adalah kotak-kotak karton sebenarnya tiga dari negatif.
Harapan untuk menemukan yang hilang negatif dari gambar Capa paling terkenal segera berlari, tetapi pameran keliling dari ratusan gambar yang melakukan tur galeri seni besar di tahun 2008 menunjukkan gambar yang diambil pada lokasi yang sama dan pada waktu yang sama. Suatu analisis rinci tentang lanskap dalam rangkaian gambar yang diambil dengan prajurit jatuh telah membuktikan bahwa tindakan (apakah asli atau bertahap) terjadi di dekat Espejo.
Banyak foto dalam acara ini adalah jelas bertahap dan berpose, termasuk gambar terkenal baik oleh Capa dan Taro dari perang saudara Spanyol. Orang yang jatuh adalah bagian dari rangkaian rusak gambar dan dalam pameran, yang kelima dalam urutan tujuh tembakan. gambar lainnya dari urutan yang hilang. Gambar enam dan tujuh adalah seorang prajurit kedua 'jatuh', yang bukan orang terkenal nomor menembak lima. Ini adalah kesamaan mencolok antara gambar yang sama 5,6, dan 7 dua yang diterbitkan pada halaman yang sama menyebar VU awal, yang selalu telah menyebabkan beberapa penelitian menyimpulkan bahwa orang-orang jatuh adalah korban perang dan sekarang memungkinkan orang lain untuk menyimpulkan bahwa semua gambar dalam seri ini diadakan oleh Capa. Ini dibuat untuk propaganda berhasil untuk penyebab Republik, tetapi juga furthered karir muda Capa's.


Sumber :
www.wikipedia.org

Jumat, 27 Januari 2012

Datuk Ibrahim Tan Malaka




Riwayat Hidup Tan Malaka
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.
Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Tan Malaka dalam fiksi
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
Sumber:

Kamis, 26 Januari 2012

Pure tempat ibadah umat Hindu di bawah Gunung Bromo

Pura Luhur Poten Bromo merupakan tempat ibadah bagi suku tengger yang memeluk agama Hindu.Pure ini terletak di  sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang.Pura  ini dipergunakan sembahyang umat Hindu Suku tengger yang mayoritas mereka memeluk agama Hindu.

Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger".
Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.