Riwayat Hidup Tan Malaka
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan
semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan
pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun
(wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia
Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk
pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu
sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan
aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat.
Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu
sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah
sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan
alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata
pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa
Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid
untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga,
untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat
SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat
hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat
Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan
ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia
Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran
sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat
adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua
gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan
simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan
akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia
tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik
tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai
komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya
anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan
Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh
kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern
lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung
jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya
memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI,
Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat
bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu
itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil
di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak
penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik
ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang
dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda
untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka,
sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat
berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan
beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan
Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai
Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis
"Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang
intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali
di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik
Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson
Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya
tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina
pecah…."
Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan
ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar
dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti
adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme
yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan.
Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif
sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama
adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi
jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu
pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab
apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia.
Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan,
sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara
tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara
berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan
sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang
kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai
kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan
benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian,
sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.
Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan
Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah
diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di
Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka
dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik
Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan
buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan
Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu
rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya
Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri
tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan
Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21
Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia
Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa
Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa
Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani
Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang
pahlawan kemerdekaan Nasional.
Tan Malaka dalam fiksi
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama
beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan
petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan
kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena
kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan
polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona
yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah
sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel,
yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI
dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky),
Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan
Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia,
terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar